Latest News

Perilaku Menyimpang dalam Perkawinan

Perilaku Menyimpang dalam Perkawinan
Perilaku menyimpang dalam perkawinan disebabkan banyak faktor. Kemiskinan, pengangguran, maupun tingginya harga kebutuhan pokok merupakan persoalan yang dapat mendorong timbulnya perilaku itu.

Harus diakui bahwa problem ekonomi yang melanda negara kita maupun pengaruh kapitalisme global tidak kecil dampaknya terhadap ketahanan perkawinan. Pencari nafkah keluarga sekarang bukan lagi hanya tertuju pada laki-laki sebagai kepala rumah tangga, tidak sedikit pula istri yang ikut bekerja.

Perkembangan zaman yang makin kompleks tak jarang juga membuat kalang kabut perencanaan ekonomi rumah tangga. Krisis ekonomi yang menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar, telah menghasilkan banyak pengangguran baru. Para suami yang bekerja sebagai karyawan atau buruh dan mengandalkan gaji sebagai pendapatan utama keluarga, secara tiba-tiba harus mencari alternatif pendapatan lain.

Begitu juga dengan pengangguran lama, baik mereka yang tidak berpendidikan maupun lulusan perguruan tinggi yang jumlahnya tidak sedikit, makin memperbesar realitas problematika sosial yang terjadi.

Sementara untuk membuka usaha sendiri atau berwiraswasta juga bukan hal gampang. Apalagi masyarakat kita kurang memiliki budaya atau mental kewirausahaan atau enterpreunership. Kenyataan ini tentu saja memberikan pengaruh yang tidak kecil bagi ketahanan rumahtangga.

Kasus Perilaku Menyimpang Dalam Perkawinan

Sejumlah kasus di lapangan menyodorkan fakta bahwa beratnya problem ekonomi keluarga juga diwarnai oleh lemahnya akses terhadap berbagai sumber, baik menyangkut akses informasi, permodalan, peningkatan ketrampilan, teknologi, maupun pemasaran.

Keterdesakan ekonomi yang menyebabkan terjadinya perceraian menurut data di sejumlah Pengadilan Agama di antaranya adalah suami pergi meninggalkan keluarga. Kasus-kasus lain juga menunjukkan hal senada, seperti suami yang tidak lagi berperan sebagai pencari nafkah.

Perceraian yang melanda kalangan selebritis perempuan yang menikah dengan laki-laki yang bukan artis juga diwarnai ketimpangan peran ini. Sehingga terkesan bahwa penyebab perceraian untuk kasus ini secara umum bisa ditimpakan pada pihak laki-laki sebagai pencari nafkah.

Namun pada beberapa kasus lain perilaku menyimpang dalam perkawinan juga terungkap, bahwa pihak istri juga ikut mempengaruhi kemelut ekonomi rumahtangga yang terjadi. Pengaruh istri ini kebanyakan berhubungan dengan persepsi linier bahwa tugas istri yang utama adalah melahirkan dan membesarkan anak.

Tugas berat yang membutuhkan pengorbanan besar dari pihak istri ini harus diimbangi dan setimpal dengan tugas dan pengorbanan yang harus dilakukan suami sebagai pencari nafkah. Malah, meski suami sudah bekerja dan mencari nafkah namun apabila tidak mencapai jumlah gaji dalam nominal tertentu, belum bisa dikatakan mencukupi.

Ada sebuah kasus menarik tentang kasus keterhimpitan ekonomi yang mendorong seorang istri hendak mengorbankan kehormatan diri dan rumah tangganya. Meski dia dan suami sama-sama bekerja, namun ketika keperluan sekolah anak-anaknya ataupun kebutuhan lain telah mendesak, maka logika normal bisa tertutup.

Keterdesakan ekonomi ini seperti menemukan jalan keluarnya ketika muncul tawaran dari seorang teman kantornya yang akan memberikan kecukupan materi asalkan perempuan ini bersedia melayani kebutuhan biologisnya. Apalagi ketika dibicarakan dengan suami ternyata suaminya pasrah dan tidak bisa melarang, justru membuat hati sang istri makin bimbang.

Kondisi terdesak dan kebutuhan ekonomi keluarga yang terlalu berat, dalam banyak kasus memang bisa menjadi pendorong munculnya penyimpangan perilaku dan nekad. Etika, moralitas, bahkan agama pun bukan mustahil dapat makin terkikis dan terpinggirkan. Namun inilah kenyataan perilaku menyimpang dalam perkawinan yang tak jarang kita jumpai.