Latest News

Bibit, Bobot, Bebet Dalam Perkawinan

bibit, bobot, bebet
Anda tentu pernah mendengar konsep 3B, yaitu bibit, bobot, bebet yang masih dianut sebagian masyarakat kita. Konsep ini tentunya berhubungan dengan pepatah yang mengatakan bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Mungkin saja pengaruh budaya berhubungan dengan konsep perkawinan yang hendak dibangun sebuah pasangan.

Untuk memberikan ilustrasi agar faktor pengaruh keturunan berupa konsep bibit, bobot, bebet ini dipahami secara proporsional berikut akan dipaparkan sebuah kasus yang pernah terjadi dengan menyamarkan data pelaku. Ada sebuah keluarga dari pasangan, sebut saja, Andi (41 tahun) dan Ana (39 tahun). Suami-istri ini telah diberi karunia 4 orang anak. Yang paling besar sudah duduk di kelas 3 SMP sedangkan yang paling kecil baru berumur 3 tahun.

Mereka menikah menjelang wisuda sarjana setelah melalui masa pacaran yang cukup lama yaitu sejak SMA. Andi adalah kakak kelas Ana di SMA. Suami-istri ini sama-sama bekerja dan menduduki posisi yang cukup bagus di kantornya. Namun dari segi pendapatan Ana lebih besar gajinya dari Andi.

Mempertimbangkan Faktor Keturunan

Awal terjadinya pertengkaran hebat yang menyebabkan perceraian mereka muncul pada setahun sebelumnya. Pada waktu itu Ana sedang mendapat tugas luar kota dari kantor tempatnya bekerja. Ketika akan pergi, Ana sudah pamitan pada Andi sehingga Andi tahu berapa hari istrinya pergi keluar kota. Namun hingga seminggu dari waktu yang seharusnya ternyata istrinya belum juga pulang. Ketika Andi menghubungi kantor Ana ternyata pihak kantor juga mencari Ana terutama karena  laporannya sudah ditunggu. Telepon seluler Ana yang dihubungi selalu tersambung ke mailbox.

Ketika akhirnya Ana pulang, Andi yang sudah menunggu dengan seribu satu pertanyaan tidak dapat lagi menahan emosinya. Entah karena terdesak atau merasa bersalah, Ana membuat pengakuan yang sangat mengejutkan Andi. Ana mengaku bahwa selama tugas keluar kota tersebut dia bertemu dengan teman lamanya.

Yang mengejutkan, Ana dengan lugas mengaku kalau mereka tidur sekamar di hotel. Meskipun mendapat jawaban yang di luar perkiraan, namun Andi menanggapinya tidak dengan emosi. Dia malah berusaha menenangkan istrinya dan mencoba mengendapkan masalah dengan tidak mengungkit lagi keterlambatan pulang istrinya tersebut. Namun sejak peristiwa itu perangai istrinya mulai berubah.

Ana mulai berubah. Dia sudah tidak lagi memperhatikan suami dan anak-anaknya. Bahkan anaknya yang masih balita pun pengasuhannya diserahkan sepenuhnya pada pembantunya. Hampir setiap hari pulang kerja hingga larut malam. Kalau pun di rumah, hanya sebentar saja terus pergi lagi. Pertengkaran pun tak terhindarkan lagi. Hari-hari hampir selalu dilalui dengan perang mulut sebelum akhirnya  berkonsultasi ke lembaga penasehat perkawinan.

Dari hasil konsultasi terungkap sejumlah data menarik. Menurut pengakuan Ana, dia sebenarnya sudah merasa dendam dengan suaminya. Dendam ini dipendamnya selama 2 tahun. Menurut Ana, waktu itu ada pertemuan keluarga besar suaminya di rumah orangtua Andi.

Waktu itu Ana berselisih dengan iparnya, namun suaminya tidak membelanya. Andi pun sudah mengakui kesalahannya dan juga sudah meminta maaf karena menganggap bahwa hal itu bukan persoalan besar.
Namun permintaan maaf Andi ternyata tidak merubah keadaan. Ana malah mengeluarkan alasan lain, seperti gaji suaminya yang rendah dan tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga. Menuduh suaminya egois dan tidak pernah peduli dengan keluarga, dan sederet alasan lainnya. Yang menarik, seringnya Ana pulang hingga larut malam, ternyata bukan untuk urusan kerja atau kantor melainkan pergi ke diskotik.

Dari hasil konsultasi juga ditemukan riwayat masa kecil, pola asuh keluarga, dan kehidupan orangtua Ana. Orangtua Ana bercerai ketika Ana masih kecil. Pertengkaran bapak dan ibunya sering terjadi dihadapan matanya. Bahkan Ana pernah menyaksikan ibunya yang telah bercerai, membawa lelaki lain menginap di rumah.

Dibanding saudara sekandung lainnya, Ana juga merasa diperlakukan tidak adil oleh orangtuanya. Ayahnya yang keras bahkan pernah membenturkan kepalanya ke tembok.

Data ikutan lainnya menyebutkan bahwa kakak dari ibuya Ana ternyata juga merupakan keluarga berantakan. Bude-nya itu bercerai karena perselingkuhan yang dilakukannya dengan laki-laki lain. Dari data-data yang terbatas ini kita tentunya tidak bisa secara gampang membuat kesimpulan bahwa semua anggota dari keluarga besar Ana berkepribadian buruk. Namun keputusan ada di tangan kita sendiri, apakah kita akan memilih calon suami atau istri dengan latar belakang bibit, bobot, bebet seperti itu atau tidak.